Rabu, 12 Februari 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesejahteraan sosial adalah sebuah sistem yang meliputi program dan pelayanan yang membantu orang agar dapat memenuhi kebutuhan sosial, ekonomi, pendidikan dan kesehatan yang sangat mendasar untuk memelihara masyarakat (Zastrow, 2000). Kriminalitas bukanlah sebuah istilah yang asing lagi, khususnya bagi masyarakat Indonesia. Semakin meningkatnya praktik kriminalitas disusul dengan semakin maraknya pemberitaan terhadap proses kriminalitas, baik melalui media elektronik hingga persepsi-persepsi dari kalangan masyarakat menjadikannya sebagai suatu topik yang seakan-akan tidak pernah habis dan bosan untuk dibahas, begitu pula dengan para pelaku kriminalitas justru semakin bertambah dengan berbagai macam pola dan model kejahatan yang dilakukan. Kriminalitas merupakan salah satu bentuk penyakit sosial yang memang sulit untuk diatasi, sebab kriminalitas bukanlah suatu hal yang pasti, bisa terjadi pada siapapun dengan usia yang tidak tertentu pula. Terkadang dilakukan secara sadar ataupun tidak sadar hingga karena dipaksa oleh suatu situasi dan kondisi tertentu. Pengangguran yang timbul akibat tidak tersedianya lapangan pekerjaan turut menjadi salah satu faktor penyumbang munculnya kriminalitas. Sebagian besar kasus kriminalitas bermula dari persoalan ekonomi yang menerpa kalangan tidak mampu. Dan mereka tidak ada pelatihan yang membuat mereka menjadi lebih bermanfaat dibanding mereka melakukan tindak kejahatan. Tindakan kriminal hampir 60% pelaku kejahatan adalah mereka yang belum mempunyai kejahatan. Oleh karena itu, penulis dalam makalah ini akan memaparkan masalah mengenai kejahatan yang ditimbulkan sebagai akibat dari rendahnya kesejahteraan sosial masyarakat. B. Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah sebagai berikut. a. Apa pengertian dari kesejahteraan sosial? b. Apa tujuan kesejahteraan sosial? c. Siapa saja sasaran kesejahteraan sosial? d. Apa usaha kesejahteraan sosial itu? e. Bagaimana caranya pemberdayaan kesejahteraan sosial? f. Apa dorongan kesejahteraan sosial dan kemanusian? g. Apa saja indikator kesejahteraan sosial? h. Pengertian kriminalitas/kejahatan? i. Apa faktor penyebab terjadinya kriminalitas? j. Apa saja jenis kriminalitas itu? k. Apa saja dampak kriminalitas yang akan muncul? l. Bagaimana cara penanggulangan terhadap kriminalitas? C. Tujuan Penulisan Adapun tujuan penulisan dari makalah ini adalah sebagai berikut. a. Untuk mengetahui pengertian dari kesejahteraan sosial. b. Untuk mengetahui tujuan kesejahteraan sosial. c. Untuk mengetahui sasaran kesejahteraan sosial. d. Untuk mengetahhui usaha kesejahteraan sosial. e. Untuk mengetahui cara pemberdayaan kesejahteraan sosial. f. Untuk mengetahui dorongan kesejahteraan sosial dan kemanusian. g. Untuk mengetahui indikator kesejahteraan sosial. h. Untuk mengetahui pengertian kriminalitas/kejahatan. i. Untuk mengetahui faktor penyebab terjadinya kriminalitas. j. Untuk mengetahui jenis kriminalitas. k. Untuk mengetahui dampak kriminalitas yang akan muncul. l. Untuk mengetahui cara penanggulangan terhadap kriminalitas. BAB II KRIMINALITAS AKIBAT KURANGNYA TINGKAT KESEJAHTERAAN SOSIAL A. Definisi kesejahteraan sosial menurut para ahli Ada beberapa definisi kesejahteraan sosial menurut para ahli, yaitu: Menurut Walter A. Friedlander, 1961 dalam Pengantar Kesejahteraan Sosial oleh Drs. Syarif Muhidin, Msc. “Kesejahteraan sosial adalah sistem yang terorganisir dari pelayanan-pelayanan sosial dan lembaga-lembaga yang bertujuan untuk membantu individu dan kelompok untuk mencapai standar hidup dan kesehatan yang memuaskan dan relasi-relasi pribadi dan sosial yang memungkinkan mereka mengembangkan kemampuannya sepenuh mungkin dan meningkatkan kesejahteraannya secara selaras dengan kebutuhan keluarga dan masyarakat.” Sebagaimana batasan PBB, kesejahteraan sosial adalah kegiatan-kegiatan yang terorganisasi yang bertujuan untuk membantu individu atau masyarakat guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya dan meningkatkan kesejahteraan selaras dengan kepentingan keluarga dan masyarakat (Suharto, 2005). Konsep “sejahtera” menurut BKKN, dirumuskan lebih luas daripada sekedar defenisi kemakmuran ataupun kebahagiaan. Konsep “sejahtera” tidak hanya mengacu pada pemenuhan kebutuhan fisik orang ataupun keluarga. Sebagai entitas tetapi juga kebutuhan psikologisnya. Ada tiga kelompok kebutuhan yang harus terpenuhi yaitu kebutuhan dasar, kebutuhan sosial, dan kebutuhan pengembangan. Kesejahteraan sosial dalam artian sangat luas mencakup berbagai tindakan yang dilakukan manusia untuk mencapai tingkat kehidupan masyarakat yang lebih baik. Menurut Walter Friedlander, kesejahteraan sosial ialah sistem yang terorganisir dari pelayanan-pelayanan sosial dan lembaga yang bertujuan untuk membantu individu dan kelompok untuk mencapai standard hidup dan kesehatan yang memuaskan dan relasi-relasi pribadi serta sosial yang memungkinkan mereka untuk mengembangkan kemampuannya sepenuh mungkin dan meningkatkan kesejahteraannya selaras dengan kebutuhan keluarga dan masyarakatnya. Sementara Elizabeth Wickenden mengemukakan bahwa kesejahteraan sosial termasuk didalamnya peraturan perundangan, program, tunjangan dan pelayanan yang menjamin atau memperkuat pelayanan untuk memenuhi kebutuhan sosial yang mendasar dari masyarakat serta menjaga ketenteraman dalam masyarakat. Kesejahteraan sosial sebagai suatu kondisi dapat terlihat dari rumusan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial pasal 1 ayat 1 : “Kesejahteraan Sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.” Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan tentang latar belakang informasi mengenai konsep dan istilah yang digunakan dalam statistik Kesejahteraan Sosial diantaranya adalah kondisi rumah tangga, luas lantai, daerah perkotaan atau pedesaan, probabilitas bayi mati sebelum mencapai usia satu tahun, keluhan masyarakat terhadap kesehatan, imunisasi, pasien rawat inap, status gizi, narapidana, aksi dan korban kejahatan, luas lantai, mendengarkan radio, membaca koran atau surat kabar, serta menonton televisi. Dari kelompok tersebut BPS melakukan pengelompokan menjadi lima indikator dalam pengukuran kesejahteraan sosial, yaitu: 1. Kesehatan 2. Pendidikan 3. Akses menjangkau media massa 4. Perumahan 5. Gizi. B. Tujuan Kesejahteraan Sosial Berdasar Pasal 3 UU Nomor 11/2009, Penyelenggaraan kesejahteraan sosial bertujuan: 1. Meningkatkan taraf kesejahteraan, kualitas, dan kelangsungan hidup. 2. Memulihkan fungsi sosial dalam rangka mencapai kemandirian. 3. Meningkatkan ketahanan sosial masyarakat dalam mencegah dan menangani masalah kesejahteraan sosial. 4. Meningkatkan kemampuan, kepedulian dan tanggungjawab sosial dunia usaha dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial secara melembaga dan berkelanjutan. 5. Meningkatkan kemampuan dan kepedulian masyarakat dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial secara melembaga dan berkelanjutan. 6. Meningkatkan kualitas manajemen penyelenggaraan kesejahteraan sosial. C. Sasaran Kesejahteraan Sosial Negara bertanggung jawab atas penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Penyelenggaraan kesejahteraan sosial ini ditujukan kepada: perseorangan, keluarga, kelompok, dan/atau masyarakat. Sedangkan yang menjadi prioritas adalah mereka yang memiliki kehidupan yang tidak layak secara kemanusiaan dan memiliki kriteria masalah sosial: kemiskinan, ketelantaran, kecacatan, keterpencilan, ketunaan sosial, dan penyimpangan perilaku, korban bencana, dan/atau korban tindak kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi. D. Usaha Kesejahteraan Sosial Usaha kesejahteraan sosial merupakan sebuah bentuk pelayanan kesejahteraan di bidang sosial. Dalam Undang-undang RI No. 6 Tahun 1974, tentang ketentuan-ketentuan pokok kesejahteraan sosial disebabkan bahwa usaha-usaha kesejahteraan sosial adalah semua upaya, program dan kegiatan yang ditujukan untuk mewujudkan, membina, memelihara, memulihkan, dan mengembangkan kesejahteraan sosial (Nurdin, 1989). Dalam pernyataan tersebut terkandung pengertian bahwa usaha-usaha kesejahteraan sosial merupakan upaya ditujukan kepada manusia baik individu, kelompok maupun masyarakat. Dalam undang-undang No. 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak, pasal 2 dinyatakan: 1. Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarga maupun dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang secara wajar. 2. Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa untuk menjadi warga negara yang baik dan berguna. 3. Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan,baik semasa dalam kandungan maupun setelah dilahirkan. 4. Anak berhak atas perlindungan terhadap yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar (Nurdin, 1989). Pernyataan tersebut di atas menegaskan bahwa anak berhak untuk mendapatkan pelayanan kesejahteraan sosial. Pelayanan kesejahteraan sosial anak-anak yang berkonflik dengan hukum dapat dilaksanakan oleh pemerintah maupun masyarakat. E. Pemberdayaan Kesejahteraan Sosial Pemberdayaan sosial merupakan upaya yang diarahkan untuk mewujudkan warga negara yang mengalami masalah sosial agar mempunyai daya, sehingga mampu memenuhi kebutuhan dasarnya (UU Nomor 11 2009 tentang Kesejahteraan Sosial). Pengertian ini mesti dimaknai secara arif, yaitu bahwa tujuan pemenuhan kebutuhan dasar adalah tujuan awal agar secara bertahap kehidupan yang lebih berkualitas dan kemandirian dapat dicapai. Pemberdayaan sosial secara simultan juga diarahkan agar seluruh potensi kesejahteraan sosial dapat dibangun menjadi sumber kesejahteraan sosial yang mampu berperan optimal dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Dalam melaksanakan tugas dan fungsi pemberdayaan sosial, telah ditetapkan struktur organisasi yang menjadi wadah penggerak berjalannya fungsi secara optimal, mempertimbangkan lingkup tugas yang meliputi pemberdayaan sosial keluarga, fakir miskin, dan komunitas adat terpencil (KAT) serta pendayagunaan nilai-nilai dasar kesejahteraan sosial dan kelembagaan sosial masyarakat. Undang Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial Bagian Keempat Pasal 12 dan Pasal 13 telah menempatkan pemberdayaan sosial sebagai bagian integral dalam sistem kesejahteraan sosial nasional. Oleh karena itu, sangatlah proporsional jika lingkup ini dikelola secara khusus melalui satuan organisasi Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial. Lingkup tugas Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial mengurusi dua persoalan utama yaitu: 1. Kemiskinan dengan fokus penduduk miskin yang meliputi fakir miskin dan komunitas adat terpencil yang selain miskin juga mengalami keterpencilan secara geografis yang mengakibatkan ketertinggalan dalam berbagai aspek kehidupan, kerentanan dengan fokus keluarga rentan, serta keluarga pahlawan/perintis kemerdekaan yang mengalami kerentanan, dan 2. Potensi dan sumber kesejahteraan sosial dalam pengelolaan pembangunan berbasis masyarakat (community-based) dengan fokus sumber daya manusia merupakan modal dasar mencakup tenaga kesejahteraan sosial, organisasi dan kelembagaan sosial masyarakat, jaringan kesejahteraan sosial, nilai dasar kesejahteraan sosial, yaitu keperintisan, kejuangan, kepahlawanan dan kesetiakawanan sosial. F. Dorongan Kesejahteraan Sosial dan Kemanusian Dorongan mewujudkan suatu kesejahteraan sosial, meliputi rehabilitasi sosial, perlindungan sosial, pemberdayaan sosial, dan jaminan sosial. Rehabilitasi sosial dimaksudkan untuk memulihkan dan mengembangkan kemampuan seseorang yang mengalami disfungsi sosial agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar. Rehabilitasi sosial dapat dilaksanakan secara persuasif, motivatif, koersif, baik dalam keluarga, masyarakat maupun panti sosial. Bentuk rehabilitasi sosial meliputi motivasi dan diagnosis psikososial, perawatan dan pengasuhan, pelatihan vokasional dan pembinaan kewirausahaan, bimbingan mental spiritual, bimbingan fisik, bimbingan sosial dan konseling psikososial, pelayanan aksesibilitas, bantuan dan asistensi sosial, bimbingan resosialisasi, bimbingan lanjut; dan/atau rujukan. Jaminan Sosial adalah skema yang melembaga untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak. Jaminan sosial dimaksudkan untuk: 1. Menjamin fakir miskin, anak yatim piatu terlantar, lanjut usia terlantar, penyandang cacat fisik, cacat mental, cacat fisik dan mental, eks penderita penyakit kronis yang mengalami masalah ketidakmampuan sosial-ekonomi agar kebutuhan dasarnya terpenuhi. 2. Menghargai pejuang, perintis kemerdekaan, dan keluarga pahlawan atas jasa-jasanya. Perlindungan Sosial adalah semua upaya yang diarahkan untuk mencegah dan menangani risiko dari guncangan dan kerentanan sosial. Pemberdayaan Sosial adalah semua upaya yang diarahkan untuk menjadikan warga negara yang mengalami masalah sosial mempunyai daya, sehingga mampu memenuhi kebutuhan dasarnya. Jaminan Sosial adalah skema yang melembaga untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak. Perlindungan sosial ini dimaksudkan untuk mencegah dan menangani risiko dari guncangan dan kerentanan sosial seseorang, keluarga, kelompok, dan/atau masyarakat agar kelangsungan hidupnya dapat dipenuhi sesuai dengan kebutuhan dasar minimal. G. Indikator Kesejahteraan Sosial 1. Jumlah dan pemerataan pendapatan Hal ini berhubungan dengan masalah ekonomi. Pendapatan berhubungan dengan lapangan kerja, kondisi usaha, dan faktor ekonomi lainnya. Penyediaan lapangan kerja mutlak dilakukan oleh semua pihak agar masyarakat memiliki pendapat tetap untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tanpa itu semua, mustahil manusia dapat mencapai kesejahteraan. Tanda-tanda masih belum sejahteranya suatu kehidupan masyarakat adalah jumlah dan sebaran pendapatan yang mereka terima. Kesempatan kerja dan kesempatan berusaha diperlukan agar masyarakat mampu memutar roda perekonomian yang pada akhirnya mampu meningkatkan jumlah pendapatan yang mereka terima. Dengan pendapatan mereka ini, masyarakat dapat melakukan transaksi ekonomi. 2. Pendidikan yang semakin mudah untuk dijangkau Pengertian mudah disini dalam arti jarak dan nilai yang harus dibayarkan oleh masyarakat. Pendidikan yang mudah dan murah merupakan impian semua orang. Dengan pendidikan yang murah dan mudah itu, semua orang dapat dengan mudah mengakses pendidikan setinggi-tingginya. Dengan pendidikan yang tinggi itu, kualitas sumberdaya manusianya semakin meningkat. Dengan demikian kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak semakin terbuka. Berkat kualitas sumberdaya manusia yang tinggi ini, lapangan kerja yang dibuka tidak lagi berbasis kekuatan otot, tetapi lebih banyak menggunakan kekuatan otak. Sekolah dibangun dengan jumlah yang banyak dan merata, disertai dengan peningkatan kualitas, serta biaya yang murah. Kesempatan untuk memperoleh pendidikan tidak hanya terbuka bagi mereka yang memiliki kekuatan ekonomi, atau mereka yang tergolong cerdas saja. Tapi, semua orang diharuskan untuk memperoleh pendidikan setinggi-tingginya. Sementara itu, sekolah juga mampu memberikan layanan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan peserta didiknya. Pendidikan disini, baik yang bersifat formal maupun non formal. Kedua jalur pendidikan ini memiliki kesempatan dan perlakuan yang sama dari pemerintah dalam memberikan layanan pendidikan kepada masyarakat. Angka melek huruf menjadi semakin tinggi, karena masyarakatnya mampu menjangkau pendidikan dengan biaya murah. Kesejahteraan manusia dapat dilihat dari kemampuan mereka untuk mengakses pendidikan. Serta mampu menggunakan pendidikan itu untuk memenuhi atau mendapatkan kebutuhan hidupnya sehari-hari. 3. Kualitas kesehatan yang semakin meningkat dan merata Kesehatan merupakan faktor untuk mendapatkan pendapatan dan pendidikan. Karena itu, faktor kesehatan ini harus ditempatkan sebagai hal yang utama dilakukan oleh pemerintah. Masyarakat yang sakit akan sulit memperjuangkan kesejahteraan dirinya. Jumlah dan jenis pelayanan kesehatan harus sangat banyak. Masyarakat yang membutuhkan layanan kesehatan tidak dibatasi oleh jarak dan waktu. Setiap saat mereka dapat mengakses layanan kesehatan yang murah dan berkualitas. Lagi-lagi, ini merupakan kewajiban pemerintah yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Apabila masih banyak keluhan masyarakat tentang layanan kesehatan, maka itu pertanda bahwa suatu Negara masih belum mampu mencapai taraf kesejahteraan yang diinginkan oleh rakyatnya. Inilah tiga indikator tentang kesejahteraan rakyat. Inidikator ini akan menjadi faktor penentu dalam usaha-usaha yang dilakukan oleh semua pihak dalam mencapai kesejahteraan. Ketiga hal ini diyakini merupakan puncak dari gunung es kesejahteraan yang didambakan oleh semua orang. H. Pengertian Kriminalitas/Kejahatan Crime atau kejahatan adalah tingkah laku yang melanggar hukum dan melanggar norma-norma sosial, sehingga masyarakat menentangnya. Lalu krimonologi adalah ilmu pengetahuan tentang kejahatan, Kartono (1999: 122). Definisi kejahatan secara yuridis adalah bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral kemanusiaan (immoril), merugikan masyarakat, a-sosial sifatnya dan melanggar hukum serta undang-undang pidana. Di dalam KUHP jelas tercantum bahwa “kejahatan adalah semua bentuk perbuatan yang memenuhi perumusan ketentuan-ketentuan KUHP”. Missal pembunuhan pasal memenuhi 338 KUHP, mencuri memenuhi pasal 362 KUHP, penganiayaan memenuhi pasal 351 KUHP. Secara sosiologis, kejahatan adalah semua bentuk ucapan, perbuatan, dan tingkah laku yang secara ekonomis, politis, dan sosial-psikologis sangat merugikan masyarakat, melanggar norma-norma susila, dan menyerang keselamatan warga masyarakat (baik yang tercantum maupun yang belum tercantum pada undang-undang pidana). I. Faktor Penyebab Kriminalitas Ada berbagai macam pandangan teoritis yang berkenaan dengan sebab-sebab kejahatan yang berhubungan langsung dengan masalah pengaruh perubahan ekonomi terhadap perilaku jahat. Teori ini mencakup kemerosotan ekonomi, kemunduran komparatif dalam keadaan sosial ekonomi sebagai akibat tersebarnya sebagian besar keuntungan ekonomi sebagian besar penduduk, mengingkatnya perbuatan pelanggaran sebagai akibat berkurangnya kesempatan didalam sektor-sektor formal ekonomi serta urbanisasi dan pertumbuhan ekonomi yang secara potensial menimbulkan integrasi masyarakat yang lebih miskin. Hubungan antara perubahan ekonomi dan perilaku jahat, sebagaimana ditunjukkan oleh teori-teori tersebut di atas, sebagaimana ditunjukkan oleh teori-teori tersebut di atas, adalah sebagai berikut: 1. Kemerosotan ekonomi Kemerosotan ekonomi pada hakikatnya adalah keadaan menurunnya tingkat pendapatan nasional dan lapangan kerja. Model “rasionalitas ekonomi” membuktikan bahwa tindakan melawan hukum menggambarkan seranngkaian industri yang muncul pada saat industri sosial lainnya menurun. Rangkaian industri gelap ini kemudian dianggap mengembang atau menciut dalam arah yang berlawanan dengan perkembangan dan penciutan ekonomi pada umumnya. 2. Kemunduran komparatif status sosio-ekonomi sebagai akibat keuntungan yang lebih besar dalam status seperti itu yang diperoleh oleh sebagian besar penduduk Didalam kemerosotan ekonomi, banyak orang yang tidak mempunyai kesempatan untuk mencapai cita-cita sosialnya, dalam keadaan seperti ini mereka kemudian menjadi calon-calon “pembaharu”. Dalam waktu yang sama, laju pembaharuan akan meningkat sebagai akibat pertumbuhan ekonomi yang cepat secara komparatif ataupun dalam skala luas. Hal ini menyebabkan sebagian besar penduduk menjadi tidak mampu berperan dalam pertumbuhan itu, karena langkanya pendidikan yang diperlukan atau karena sulitnya memperoleh keterampilan kerja yang tepat untuk berintegrasi ke dalam sistem ekonomi tersebut. 3. Peningkatan tindakan pelanggaran sebagai akibat menurunnya kesempatan pada sektor-sektor formal ekonomi Cloward dan Ohlin menyatakan bahwa pelanggaran terjadi sebagai akibat tiadanya kesempatan ekonomi di dalam industri yang sah, dan tiadanya kesempatan di dalam industri tidak resmi yang terorganisasikan. Hubungannya dengan keadaan ekonomi adalah berbanding lurus. Didalam masa kemerosotan ekonomi, lapangan kerja dan pendapatan resmi akan banyak berkurang, yang akan menyebabkan adanya kecenderungan ke arah perliaku jahat. Tindakan jahat yang terorganisasikan dengan baik (khususnya seperti pelacuran, perjudian, lalu-lintas obat terlarang, dan kegiatan pasar gelap umumnya) tidak terbuka bagi calon pendatang baru, baik karena jalan menuju ke sana sangat terawasi (mereka telah ada sebelum kemerosotan ekonomi itu) ataupun karena meningkatnya persaingan meenuju pasar gelap tenaga kerja tersebut. 4. Urbanisasi dan pertumbuhan ekonomi Bidang urbanisasi dan pertumbuhan ekonomi mungkin salah satu sumber utama bagi perkembangan teori ilmu-ilmu sosial. Mulai dari karya Tonnies, Durkheim, Woth, dan lain-lain, telah berkembang suatu anggapan kuat bahwa proses urbanisasi mengandung unsur-unsur disintegrasi dan penyakit sosial. Dasar pemikirannya adalah bahwa simpul-simpul yang secara tradisional mengikat unsur-unsur masyarakat, yaitu simpul yang berhubungan dengan keluarga, warna kulit, dan kesukuan, secara perlahan kehilangan artinya ketika masyarakat berubah menjadi masyarakat industri dan dasar kekuasaan berpindah dari keluarga kepad amereka yang berdekatan dengan ekonomi politik nasional. Didalam transformasi poitik ini, indikator utama kedudukan sosial bergeser dari indikator yang semula didasarkan pada hubungan kekeluargaan dalam struktur sosial, menjadi indikator yang didasarkan pada prestasi ekonomi didalam sektor industri. Dengan demikian, prestasi di bidang ekonomi itu sendiri semakin lama akhirnya menjadi cermin pengertian nilai-nilai sosial di dalam masyarakat. Akibat lainnya, sumber-sumber integrasi masyarakat yang didasarkan pada ikatan keluarga dan kesuskuan, diganti berdasarkan ikatan saling hubungan ekonomis. Oleh karena itu, didalam pertumbuhan ekonomi jangka panjang, terdapat suatu peningkatan secara perlahan kadar ketergantungan integrasi sosial pada fungsi ekonomi dari masyarakat. Unsur lain yang penting dari urbanisasi dan pembangunan ekonomi, yang bersifat mempermudah mengendornya pengaruh ikatan etnik, ialah unsur kebhinekaan penduduk. Didalam keadaan pembangunan ekonomi kota (perkotaan), lokasi industri menarik penduduk berbagai macam etnis dari beberapa daerah sekitarnya menjadi golongan pekerja yang didasarkan pada jenis industri dan pekerjaan saja. Dengan demikian, di dalam wilayah ekonomi yang sama, akan dijumpai kelompok dengan berbagai latar belakang berbeda-beda melakukan pekerjaan yang sama serta menggunakan barang dan jasa yang sama yang disediakan melalui jaringan kota. Didalam kebhinekaan peduduk ini, timbul adanya kemajemukan sub kultur dengan segudang sistem nilai dan norma yang sering bertentangan. Kemajuan suku budaya itu secara logis membawa kepada kenisbian moral pada sebagian besar penduduk kota. Kekaburan yang timbul dalam nilai-nilai moral yang menyangkut tindakan dan cita-cita yang tepat, secara teoritis, sebaliknya akan membawa kepada penerimaan dan penerapan perilaku yang dahulu dianggap tidak bermoral. (M. Harvey Brenner, 1986: 2-7) Adapun penyebab lain yang bisa menyebabkan perilaku kriminal adalah: 2. Biologis Secara beiologis, kriminalitas disebabkan oleh Genotype dan Phenotype. Stephen Hurwitz (1986:36) menyatakan perbedaan antara kedua tipe tersebut bahwa Genotype ialah warisan sesungguhnya, Phenotype ialah pembawaan yang berkembang. Perbedaan antara genotype dan phenotype bukanlah hanya disebabkan karena hukum biologi mengenai keturunan saja. Sekalipun sutu gen tunggal diwariskan dengan cara demikian hingga nampak keluar, namun masih mungkin adanya gen tersebut tidak dirasakan. Perkembangan suatu gen tunggal adakalanya tergantung dari lain-lain gen, teristimewanya bagi sifat-sifat mental. Disamping itu, nampaknya keluar sesuatu gen, tergantung pula dari pengaruh-pengaruh luar terhadap organisme yang telah atau belum lahir. Apa yang diteruskan seseorang sebagai pewarisan kepada generasi yang berikutnya semata-mata tergantung dari genotype. Apa yang tampaknya keluar olehnya, adalah phenotype yaitu hasil dari pembawaan yang diwaris dari orang tuanya dengan pengaruh-pengaruh dari luar. a. Pembawaan dan Kepribadian Berdasarkan peristilahan teori keturunan, pembawaan berarti potensi yang diwariskan saja, dan kepribadian berarti propensity/bakat-bakat yang dikembangkan. Kinberg (dalam Stephen Hurwitz, 1986:36) menyatakan: Individuality – factor I – bukan fenomena/gejala endogenuous yang datang dari dalam semata-mata, tapi hasil dari pembawaan dan faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi dan membentuk pembawaan sepanjang masa. b. Pembawaan dan Lingkungan Menurut istilah, pembawaan dan lingkungan merujuk kepaa pembawaan yang dikembangkan. Mahzab lingkungan pada mulanya hanya memperhatikan komponen-komponen di bidang ekonomi, akan tetapi konsepsi itu meliputi seluruh komponen baik yang materiil maupun yang spiritual. Lingkungan merupakan faktor yang potensial yaitu mengandung suatu kemungkinan untuk memberi pengaruh dan terujudnya kemungkinan tindak criminal tergantung dari susunan (kombinasi) pembawaan dan lingkungan baik lingkungan stationnair (tetap) maupun lingkungan temporair (sementara). Faktor-faktor pembawaan dan lingkungan selalu saling mempengaruhi timbal balik, tak dapat dipisahkan satu sama lain. Lingkungan yang terdahulu, karena pengaruhnya yang terus menerus terhadap pembawaan, mengakibatkanterwujudnya sesuatu kepribadian dan sebaliknya factor lingkungan tergantung dari factor-faktor pembawaan. Oleh karena: • Lingkungan seseorang ini dalam batas-batas tertentu ditentukan oleh pikirannya sendiri. • Orangnya dapat banyak mempengaruhi dan mengubah faktor-faktor lingkungan ini. 3. Sosiologis Secara sosiologis, ada hubungan timbal-balik antara faktor-faktor umum sosial politik-ekonomi dan bangunan kebudayaan dengan jumlah kejahatan dalam lingkungan itu baik dalam lingkungan kecil maupun besar. Stephen Hurwitz (1986:86-102) menyatakan tinjauan yang lebih mendalam tentang interaksi ini, antara lain yaitu: a. Faktor-faktor ekonomi 1) Sistem ekonomi Sistem ekonomi baru dengan produksi besar-besaran, persaingan bebas, menghidupkan konsumsi dengan jalan periklanan, cara penjualan modern dan lain-lain, yaitu menimbulkan keinginan untuk memiliki barang dan sekaligus mempersiapkan suatu dasar untuk kesempatan melakukan penipuan-penipuan. 2) Harga-harga, Perubahan Harga Pasar, Krisis (Prices, market fluctuations, crisis) Ada anggapan umum, bahwa ada suatu hubungan langsung antara keadaan-keadaan ekonomi dan kriminalitas, terutama mengenai kejahatan terhadap hak milik dan pencurian (larceny). Dalam penelitian tentang harga-harga (prices) maka hasilnya menunjukkan bahwa kenaikan harga rata-rata diikuti dengan kenaikan pencurian yang seimbang. Suatu interaksi yang khas antara harga-harga barang (contoh: gandum, dan sebagainya) dari kriminalitas ternyata dan terbukti dari fakta-fakta, yaitu bahwa jumlah kebakaran yang ditimbulkan yang bersifat menipu mengenai hak milik tanah menjadi tinggi, bila harga tanah turun dan penjualannya sukar. Alasannya ialah karena keadaan-keadaan ekonomi menimbulkan suatu kepentingan khusus untuk memperoleh jumlah asuransi kebakaran untuk rumah dan pekarangan serta tanaman, (premises = rumah dan pekarangan). 3) Gaji atau Upah. Dalam keadaan krisis dengan banyak pengangguran dan lain-lain gangguan ekonomi nasional, upah para pekerja bukan lagi merupakan indeks keadaan ekonomi pada umumnya. Maka dari itu perubahan-perubahan harga pasar (market fluctuations) harus diperhatikan. Banyak buku telah menulis tentang artinya goncangan harga-harga dan upah. Juga banyak penelitian telah diadakan berdasarkan indeks-indeks kombinasi, termasuk pengangguran dan lain-lain, sehingga masalah beralih dari pengaruh turun naiknya harga, kepada goncangan harga pasar yang sangat kuat, sehubungan dengan kejahatan. Dari penelitian yang belakangan dan paling menarik perhatian ialah mengenai pengaruh dari waktu-waktu makmur (prosperity) diselingi dengan waktu-waktu kekurangan (depression) dengan kegoncangan harga-harga pasar, krisis dan lain-lain terhadap kejahatan. 4) Pengangguran Di antara faktor-faktor baik secara langsung atau tidak, mempengaruhi terjadinya kriminalitas, terutama dalam waktu-waktu krisis, pengangguran dianggap paling penting. 18 macam factor ekonomi yang berbeda dapat dilihat dari statistik-statistik tersebut, bekerja terlalu muda, tak ada pengharapan maju, pengangguran berkala yang tetap, pengangguran biasa dan kekhawatiran dalam hal itu, berpindahnya pekerjaan dari satu tempat ke tempat yang lain, perubahan gaji sehingga tidak mungkin membuat anggaran belanja, kurangnya libur, sehingga dapat disimpulkan bahwa pengangguran adalah faktor yang paling penting. 4. Faktor-faktor mental a. Agama Kepercayaan hanya dapat berlaku sebagai suatu anti krimogemis bila dihubungkan dengan pengertian dan perasaan moral yang telah meresap secara menyeluruh. Dan kepercayaan tidak boleh berubah dari sikap hidup moral keagamaan, merosot menjadi hanya suatu tata cara dan bentuk-bentuk lahiriah oleh orang dengan tasbeh di satu tangan, sedang tangan lainnya menusuk dengan pisau. Meskipun adanya faktor-faktor negatif demikian, memang merupakan fakta bahwa norma-norma etis yang secara teratur diajarkan oleh bimbingan agama dan khususnya bersambung pada keyakinan keagamaan yang sungguh, membangunkan secara khusus dorongan-dorongan yang kuat untuk melawan kecenderungan-kecenderungan kriminil. b. Bacaan, Harian-harian, Film Sering orang beranggapan bahwa bacaan jelek merupakan faktor krimogenik yang kuat, mulai dengan roman-roman dari abad ke-18, lalu dengan cerita-cerita dan gambar-gambar erotis dan pornografik, buku-buku picisan lain dan akhirnya cerita-cerita detektif dengan penjahat sebagai pahlawannya, penuh dengan kejadian berdarah. Pengaruh crimogenis yang lebih langsung dari bacaan demikian ialah gambaran sesuatu kejahatan tertentu dapat berpengaruh langsung dan suatu cara teknis tertentu kemudian dapat dipraktekkan oleh si pembaca. Harian-harian yang mengenai bacaan dan kejahatan pada umumnya juga dapat dikatakan tentang koran-koran. Di samping bacaan-bacaan tersebut di atas, film (termasuk TV) dianggap menyebabkan pertumbuhan kriminalitas tertutama kenakalan remaja akhir-akhir ini. Dan film ini oleh kebanyakan orang dianggap yang paling berbahaya. Memang disebabkan kesan-kesan yang mendalam dari apa yang dilhat dan didengar dan cara penyajiannya yang negatif. Kita harus hati-hati dalam memberikan penilaian yang mungkin berat sebelah mengenai hubungan antara bacaan, harian, film dengan kejahatan. Tentu saja ada keuntungan dan kerugian yang dapat dilihat disamping kegunaan pokok bacaan, harian, dan film tersebut. J. Jenis Kriminalitas Jenis-jenis kriminalitas adalah sebagai berikut, Kartono (1999: 130-136): 1. Jenis-jenis kejahatan secara umum: a. Rampok dan gangsterisme, yang sering melakukan operasi-operasinya bersama-sama dengan organisasi-organisasi illegal. b. Penipuan-penipuan: permainan-permainan penipuan dalam bentuk judi dan perantara-perantara “kepercayaan”, pemerasan (blackmailing), ancaman untuk memplubisir skandal dan perbuatan manipulative. c. Pencurian dan pelanggaran: perbuatan kekerasan, perkosasan, pembegalan, penjambreta/pencopetan, perampokan, pelanggaran lelu lintas, ekonomi, pajak, bea cukai, dan lain-lain. 2. Jenis kejahatan menurut cara kejahatan dilakukan: a. Menggunakan alat bantu: senjata, senapan, bahan kimia dan racun, instrument kedokteran, alat pemukul, alat jerat, dll. b. Tanpa menggunakan alat bantu, hanya dengan kekuatan fisik saja dengan bujuk rayu atau tipuan. c. Residivis, yaitu penjahat yang berulang ke luar masuk penjara. Selalu mengulangi perbuatan jahat baik yang serup[a maupun yang berbeda bentuk kejahatannya. d. Penjahat berdarah dingin, yang melakukan kejahatan dengan pertimbangan dan persiapan yang matang. e. Penjahat kesempatan, yang melakukan kejahatan dengan menggunakan kesempatan-kesempatan kebetulan. f. Penjahat karena dorongan impuls-impuls yang timbul seketika. g. Penjahat kebetulan, misalnya karena lupa diri, tidak sengaja, lalai, ceroboh, acuh tak acuh, sembrono, dan lain-lain. 3. Kejahatan menurut obyek hukum yang diserangnya: a. Kejahatan ekonomi: fraude, penggelapan, penyelundupan, perdagangan barang-barang terlarang, penyogokan dan penyuapan untuk mendapatkan monopoli-monopoli tertentu. b. Kejahatan politik dan hankam: pelanggaran ketertiban umum, pengkhianatan, penjualan rahasis-rahasia negara kepada agen-agen asing untuk kepentingan subversi, pengacauan, kejahatan terhadap keamanan negara dan kekuasaan negara, penghinaan terhadap martabat pemimpin negara, kolaborasi dengan musuh, dll. c. Kejahatan kesusilaan: pelanggaran seks, perkosaan, fitnahan. d. Kejahatan terhadap jiwa orang dan harta benda. 4. Kejahatan berdasarkan motif atau alasan-alasannya adalah motif ekonomis, politis, dan etis atau kesusilaan. K. Dampak Kriminalitas Dampak negatif kriminalitas antara lain, Kartono (1999: 151): 1. Maraknya kejahatan memberikan efek yang mendemoralisir/merusak tatanan orde. 2. Menimbulkan rasa tidak aman, kecemasan, ketakutan dan kepanikan di tengah masyarakat. 3. Banyak materi dan energi terbuang dengan sia-sia oleh gangguan-gangguan kriminalitas. 4. Menambah beban ekonomis yang semakin besar kepada sebagian besar warga masyarakatnya. 5. Adanya pemberitaan criminal menyebabkan peningkatkan kejahatan dengan mengundang peniruan oleh pembaca yang bernaluri jahat, melukai perasaan keluarga dari si penjahat atau korban kejahatan, dan menimbulkan kengerian dengan gambar-gambar yang menakutkan dan mengerikan (misalnya gambar berwarna dari peristiwa kejahatan/pembunuhan/kejahatan.) Sementara itu dampak positif munculnya kejahatan antara lain: 1. Menumbuhkan rasa solidaritas dalam kelompok-kelompok yang tengah diteror penjahat. 2. Munculah tanda-tanda baru, degan norma susila lebih baik, yang diharapkan mampu mengatur masyarakat dengan cara yang lebih baik dimasa mendatang. 3. Orang berusaha memperbesar kekuatan hukum, danmenambah kekuatan fisik lainnya untuk memberantas kejahatan. 4. Pemberitaan criminal memberi ganjaran kepada penjahat, membantu pihak pengusut kejahatan, membekuk si penjahat (pemuatan foto penjahat yang akhirnya berhasil membekuk penjahat), penjera yang mujarab untuk mencegah orang-orang berjiwa kecil/jahat melaksanakan niat jahatnya, dan pemberitaan proses peradilan dan penangkapan si penjahat, juga membantu si penjahat dari perbuatan sewenang-wenang pihak penegak hukum. L. Penanggulangan terhadap Kriminalitas Tahap-tahap penanganan kriminalitas, Soetomo (2008: 33-63): 1. Tahap identifikasi, indicator sederhana untuk tahap identifikasi adalah memanfaatkan angka-angka statistic yang tersedia bagi daerah tertentu. Pada data tersebut kita dapat mengetahui insidensi (jumlah kejadian dalam kurun waktu tertentu dalam suatu daerah), dan prevalensi (jumlah pelaku kejahatan). 2. Tahap diagnosis, yaitu mencari sifat, eskalasi dan latar belakang kriminalitas terjadi untuk membantu menentukan tindakan sebagai upaya pemecahan masalah. 3. Tahap treatment, adalah upaya pemecahan masalah yang ideal pada suatu kondis tertentu, terdiri dari: a. Usaha rehabilitatif, fokus utamanya pada kondisi pelaku kejahatan, terutama upaya untuk melakukan perubahan atau perbaikan perilakunya agar sesuai dengan standar atau norma sosial yang ada. b. Usaha preventif, focus pada pencegahan agar tindak kejahatan tidak terjadi. Dapat dilakuakan pada level individu, kelompok, maupun masyarakat, seperti 1) Selektif terhadap budaya asing yang masuk agar tidak merusak nilai budaya bangsa sendiri. 2) Mengenakan sanksi hukum yang tegas dan adil kepada para pelaku kriminalitas tanpa pandang bulu atau derajat. 3) Mengontrol atau memberikan arah pada proses pada proses sosialsisasi termasuk lingkungan interakasi sosial. 4) Mengaktifkan peran serta orang tua dan lembaga pendidikan dalam mendidik anak. 5) Menjaga kelestarian dan kelangsungan nilai norma dalam masyarakat dimulai sejak dini melalui pendidikan multi kultural, seperti sekolah, pengajian dan organisasi masyarakat. 6) Untuk pengawasan kejahatan secara efektif kita memerlukan hukum yang berwibawa. Dipandang dari sudut perlindungan terhadap masyarakat, hukum yang bersifat ideal mengenai hukuman yang tidak ditentukan yang dapat diteruskan kepada semua pelanggar-pelanggar, misalkan setahun sampai seumur hidup dan yang diatur oleh komite yang tergolong ahli dalam system kepenjaraan (tahanan) akan memungkinkan penguasa-penguasa yang membawahi lembaga-lembaga untuk menangkap pelanggar-pelanggar yang berbahaya, agresif, tidak dapat diperbaiki selama jangka waktu lebih lama daripada sekarang dengan hukuman yang ditetapkan atau yang ditetapkan dengan maksimum. Usaha pencegahan adalah lebih ekonomis bila dibandingkan dengan usaha represif dan rehabilitasi. Untuk melayani jumlah orang yang lebih besar jumlahnya tidak diperlukan banyak tenaga seperti pada usaha represif dan rehabilitasi menurut perbandingan. Usaha pencegahan juga dapat dilakukan secara perorangan dan tidak selalu memerlukan keahlian seperti pada usaha represif dan rehabilitasi. Misalnya, menjaga diri jangan sampai menjadi korban kriminalitas, tidak lalai mengunci rumah/kendaraan, memasang lampu di tempat gelap dan lain-lain. Usaha pencegahan juga tidak selalu memerlukan suatu organisasi yang rumit dan birokratis yang dapat menjurus ke arah birokratisme yang menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan/wewenang, N. Widiyanti dan Y. Waskita (1987:154-155). BAB III KESIMPULAN Kesejahteraan sosial merupakan adalah kegiatan-kegiatan yang terorganisasi yang bertujuan untuk membantu individu atau masyarakat guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya dan meningkatkan kesejahteraan selaras dengan kepentingan keluarga dan masyarakat. Adapun indikator dari kesejahteraan sosial yaitu menyangkut jumlah dan pemerataan pendapatan, pendidikan yang semakin mudah untuk dijangkau dan kualitas kesehatan yang semakin meningkat dan merata. Namun, apabila indikator kesejahteraan sosial tersebut tidak terpenuhi, maka akan muncul kriminalitas atau kejahatan di masyarakat. Sedangkan upaya untuk mencegahnya yaitu dengan cara meningkatkan kesejahteraan sosial massyarakat di segala bidang, baik bidang ekonomi, pendidikan, dan sosial. Dengan diperbaikinya fasilitas pendidikan dan kesehatan serta peningkatan ekonomi masyarakat melalui program keterampilan. DAFTAR PUSTAKA Brenner, M. Harvey. 1986. Pengaruh Ekonomi Terhadap Perilaku Jahat dan Penyelenggaraan Peradilan Agama. Jakarta: CV. Rajawali. Hurwitz, Stephen. 1986. Kriminologi. Terjemahan oleh Ny. L. Moeljatno, SH.. Jakarta: PT Bina Aksara. Kartono, Kartini. 1999. Patologi Sosial. Jakarta: Raja grafindo Persada. Mustafa, Muhammad. 2007. Kriminologi. Depok: FISIP UI PRESS. hal :16. (Online). (http://id.wikipedia.org/wiki/Kriminalitas diakses pada tanggal 20 Februari 2011). N, Widiyanti dan Waskita Y. 1987. Kejahatan dalam Masyarakat dan Pencegahannya. Jakarta: PT Bina Aksara. http://www.psychologymania.com/2012/10/usaha-kesejahteraan-sosial.html http://tunas63.wordpress.com/2011/11/03/tujuan-dan-sasaran-kesejahteraan-sosial/

Sabtu, 04 Mei 2013

BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Masa remaja menurut Mappiare (1982), berlangsung antara umur 12-21tahun bagi wanita dan 13-22tahun bagi pria. Rentang usia remaja ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu usia 12/13tahun-17/18tahun disebut dengan remaja awal, dan usia 17/18tahun-21/22tahun disebut dengan remaja akhir.
Remaja berasal dari bahasa Latin disebut adolescence, yang artinya tumbuh atau tumbuh untuk mencapai kematangan. Namun sesungguhnya istilah ini memiliki arti yang luas yaitu mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik.
Remaja sesungguhnya tidak mempunyai tempat yang jelas. Mereka sudah tidak termasuk golongan anak-anak, tetapi belum juga dapat diterima secara penuh untuk masuk ke golongan orang dewasa. Remaja berada diantara anak dan orang dewasa. Oleh karena itu, remaja seringkali dikenal dengan fase “pencarian jati diri”. Hal ini dikarenakan remaja masih belum mampu menguasai dan memfungsikan secara maksimal fungsi fisik dan psikisnya. (Prof. Dr. Mohammad Ali & Prof. Dr. Mohammad Asrori, 2010: 9-10)
Karena dalam masa  remaja merupakan masa “pencarian jati diri”, tidak sedikit remaja saat ini meninggalkan nilai dan norma yang berlaku di masyarakat karena dipengaruhi oleh berbagai hal, oleh karena itu penulis akan mencoba membahas tentang menurunnya nilai moral pada remaja saat ini.


BAB II
PENURUNAN NILAI MORAL PADA REMAJA 
Nilai merupakan sesuatu yang diyakini kebenarannya dan mendorong orang untuk mewujudkannya. Nilai merupakan sesuatu yang memungkinkan individu atau kelompok sosial membuat keputusan mengenai apa yang dibutuhkan atau sebagai suatu yang ingin dicapai.
Sedangkan moral merupakan kaidah norma dan pranata yang mengatur perilaku individu dalam hubungannya dengan kelompok sosial dan masyarakat. Moral merupakan standar baik-buruk yang ditentukan bagi individu oleh nilai-nilai sosial budaya dimana individu sebagai anggota sosial.
Sehingga nilai moral dapat diartikan sebagai suatu tatanan dimasyarakat yang dianggap benar dan mendorong untuk mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari agar terciptanya sebuah keharmonisan di dalam masyarakat.
Keterkaitan antara nilai dan moral terhadap peerilaku seseorang adalah bahwa nilai merupakan dasar pertimbangan bagi individu untuk melakukan sesuatu dan moral merupakan perilaku yang seharusnya dilakukan atau dihindari oleh seseorang. Keterkaitan keduannya pada diri seseorang adalah menentukan perilaku seseorang akan apa yang harus dilakukan dan apa yang harus dihindari dalam sikap dan perilakunya sebagai perwujudan dari sistem nilai dan norma yang mendasarinya tersebut.
Masa remaja adalah masa paling sensitif dan urgen dalam kehidupan manusia. Dalam masa ini seseorang bukan lagi anak kecil dan juga belum mencapai usia baligh sepenuhnya dan sedang melewati masa krisis kehidupan yang terkadang prilaku dan perbuatan kekanak-kanakannya menimbulkan gangguan orang-orang yang lebih besar dan terkadang prilaku rasionalnya mendatangkan keheranan orang dewasa tersebut. Hal ini merupakan proses pencarian jati diri mereka yang sesungguhnya, sehingga dapat menyebabkan remaja menjadi bingung akan apa yang harus mereka lakukan.
Pada awalnya seorang anak belum memahami tentang nilai-nilai dan pengetahuan mengenai nilai moral tertentu atau tentang apa yang dipandang baik atau tidak baik oleh kelompok sosialnya. Selanjutnya, dalam berinteraksi dengan lingkungannya anak mulai belajar mengenai berbagai aspek kehidupan yang berkaitan dengan nilai, moral, dan sikap. Sehingga lingkungan mempunyai peranan yang sangat penting dalam perkembangan nilai dan norma tersebut.
Seiring dengan perkembangan zaman, kehidupan remaja saat ini berbeda dengan remaja pada masa lalu. Pada saat ini remaja banyak dipengaruhi oleh perkembangan zaman dan iptek, sehingga terdapat perbedaan dalam perilaku yang timbul dari remaja tersebut. Contohnya seperti remaja yang terbiasa berkumpul dengan teman-temannya, kini cenderung untuk lebih bersifat individual dan sibuk dengan kehidupannya sendiri dengan handphone ataupun alat tekhnologi lainnya.
Faktor yang mempengaruhi terhadap nilai dan moral remaja adalah faktor lingkungan yang mencakup aspek psikologis, sosial, budaya, dan fisik kebendaan, baik yang terjadi di keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Selain itu juga kondisi psikologis, pola interaksi, pola kehidupan beragama, berbagai sarana rekreasi yang tersedia didalam lingkungannya akan berpengaruh juga terhadap perkembangan nilai dan norma tersebut.
Remaja yang tumbuh dan berkembang pada lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat yang kondusif yang penuh rasa aman secara psikologis, pola ineraksi yang demokratis, penuh kasih sayang dan religius dapat diharapkan berkembang menjadi remaja yang berbudi luhur, moralitas tinggi, serta sikap dan perilaku yang terpuji.
Sedangkan apabila seorang remaja tumbuh dalam kondisi lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat yang tidak kondusif seperti kondisi psokologis yang penuh dengan koflik, pola interaksi yang tidak jelas, pola asuh yang tidak berimbang, dan kurang religius maka dikhawatirkan akan membentuk remaja yang tidak memliki nilai-nilai luhur, moralitas tinggi, dan sikap terpuji. 
Selain faktor-faktor di atas, ada beberapa faktor yang mempengaruhi penurunan nilai moral remaja yaitu sebagai berikut:
1. Longgarnya pegangan terhadap agama
Sudah menjadi tragedi dari dunia maju, dimana segala sesuatu hampir dapat dicapai dengan ilmu pengetahuan, sehingga keyakinan beragama mulai terdesak, kepercayaan kepada Tuhan tinggal simbol, larangan-larangan dan suruhan-suruhan Tuhan tidak diindahkan lagi. Dengan longgarnya pegangan seseorang pada ajaran agama, maka hilanglah kekuatan pengontrol yang ada didalam dirinya. Dengan demikian satu-satunya alat pengawas dan pengatur moral yang dimilikinya adalah masyarakat dengan hukum dan peraturanya. Namun biasanya pengawasan masyarakat itu tidak sekuat pengawasan dari dalam diri sendiri. Karena pengawasan masyarakat itu datang dari luar, jika orang luar tidak tahu, atau tidak ada orang yang disangka akan mengetahuinya, maka dengan senang hati orang itu akan berani melanggar peraturan-peraturan dan hukum-hukum sosial itu. Dan apabila dalam masyarakat itu banyak orang yang melakukuan pelanggaran moral, dengan sendirinya orang yang kurang iman tadi tidak akan mudah pula meniru melakukan pelanggaran-pelanggaran yang sama. Tetapi jika setiap orang teguh keyakinannya kepada Tuhan serta menjalankan agama dengan sungguh-sungguh, tidak perlu lagi adanya pengawasan yang ketat, karena setiap orang sudah dapat menjaga dirinya sendiri, tidak mau melanggar hukum-hukum dan ketentuan-ketentuan Tuhan. Sebaliknya dengan semakin jauhnya masyarakat dari agama, semakin sudah memelihara moral orang dalam masyarakat itu, dan semakin kacaulah suasana, karena semakin banyak pelanggaran-pelanggaran, hak, hukum dan nilai moral.
2.  Kurang efektifnya pembinaan moral yang dilakukan oleh rumah tangga, sekolah maupun masyarakat
Pembinaan moral yang dilakukan oleh ketiga lembaga ini tidak berjalan menurut semestinya atau yang sebiasanya. Pembinaan moral dirumah tangga misalnya harus dilakukan dari sejak anak masih kecil, sesuai dengan kemampuan dan umurnya. Karena setiap anak lahir, belum mengerti mana yang benar dan mana yang salah, dan belum tahu batas-batas dan ketentuan moral yang tidak berlaku dalam lingkungannya. Tanpa dibiasakan menanamkan sikap yang dianggap baik untuk manumbuhkan moral, anak-anak akan dibesarkan tanpa mengenal moral itu. Pembinaan moral pada anak dirumah tangga bukan dengan cara menyuruh anak menghapalkan rumusan tentang baik dan buruk, melainkan harus dibiasakan.
Zakiah Darajat mangatakan, moral bukanlah suatu pelajaran yang dapat dicapai dengan mempelajari saja, tanpa membiasakan hidup bermoral dari sejak keci. Moral itu tumbuh dari tindakan kepada pengertian dan tidak sebaliknya. Seperti halnya rumah tangga, sekolahpun dapat mengambil peranan yang penting dalam pembinaan moral anak didik. Hendaknya dapat diusahakan agar sekolah menjadi lapangan baik bagi pertumbuhan dan perkembangan mental dan moral anak didik. Di samping tempat pemberian pengetahuan, pengembangan bakat dan kecerdasan. Dengan kata lain, supaya sekolah merupakan lapangan sosial bagi anak-anak, dimana pertumbuhan mental, moral dan sosial serta segala aspek kepribadian berjalan dengan baik. Untuk menumbuhkan sikap moral yang demikian itu, pendidikan agama diabaikan di sekolah, maka didikan agama yang diterima di rumah tidak akan berkembang, bahkan mungkin terhalang. Selanjutnya masyarakat juga harus mengambil peranan dalam pembinaan moral. Masyarakat yang lebih rusak moralnya perlu segera diperbaiki dan dimulai dari diri sendiri, keluarga dan orang-orang terdekat dengan kita. Karena kerusakan masyarakat itu sangat besar pengaruhnya dalam pembinaan moral anak-anak. Terjadinya kerusakan moral dikalangan pelajar dan generasi muda sebagaimana disebutkan diatas, karena tidak efektifnnya keluarga, sekolah dan masyarakat dalam pembinaan moral. Bahkan ketiga lembaga tersebut satu dan lainnya saling bertolak belakang, tidak seirama, dan tidak kondusif bagi pembinaan moral.
3. Budaya yang materialistis, hedonistis dan sekularistis
Sekarang ini sering kita dengar dari radio atau bacaan dari surat kabar tentang anak-anak sekolah menengah yang ditemukan oleh gurunya atau polisi mengantongi obat-obat, gambar-gambar cabul, alat-alat kotrasepsi seperti kondom dan benda-banda tajam. Semua alat-alat tersebut biasanya digunakan untuk hal-hal yang dapat merusak moral. Namun gajala penyimpangan tersebut terjadi karena pola hidup yang semata-mata mengejar kepuasan materi, kesenangan hawa nafsu dan tidak mengindahkan nilai-nilai agama. Timbulnya sikap tersebut tidak bisa dilepaskan dari derasnya arus budaya matrealistis, hedonistis dan sekularistis yang disalurkan melalui tulisan-tulisan, bacaan-bacaan, lukisan-lukisan, siaran-siaran, pertunjukan-pertunjukan dan sebagainya. Penyaluran arus budaya yang demikian itu didukung oleh para penyandang modal yang semata-mata mengeruk keuntungan material dan memanfaatkan kecenderungan para remaja, tanpa memperhatikan dampaknya bagi kerusakan moral. Derasnya arus budaya yang demikian diduga termasuk faktor yang paling besar andilnya dalam menghancurkan moral para remaja dan generasi muda umumnya.
4.   Belum adanya kemauan yang sungguh-sungguh dari pemerintah
Pemerintah yang diketahui memiliki kekuasaan (power), uang, teknologi, sumber daya manusia dan sebagainya tampaknya belum menunjukan kemauan yang sungguh-sunguh untuk melakukan pembinaan moral bangsa. Hal yang demikian semakin diperparah lagi oleh adanya ulah sebagian elit penguasa yang semata-mata mengejar kedudukan, peluang, kekayaan dan sebagainya dengan cara-cara tidak mendidik, seperti korupsi, kolusi dan nepotisme yang hingga kini belum adanya tanda-tanda untuk hilang. Mereka asik memperebutkan kekuasaan, mareri dan sebagainya dengan cara-cara tidak terpuji itu, dengan tidak memperhitungkan dampaknya bagi kerusakan moral bangsa. Bangsa jadi ikut-ikutan, tidak mau mendengarkan lagi apa yang disarankan dan dianjurkan pemerintah, karena secara moral mereka sudah kehiangan daya efektifitasnya. Sikap sebagian elit penguasa yang demikian itu semakin memperparah moral bangsa, dan sudah waktunya dihentikan. Kekuasaan, uang, teknologi dan sumber daya yang dimiliki pemerintah seharusnya digunakan untuk merumuskan konsep pembinaan moral bangsa dan aplikasinya secara bersungguh-sungguh dan berkesinambungan.
5.    Ingin mengikuti trend
Mungkin pada awalmya para remaja merokok adalah ingin terlihat keren, padahal hal itu sama sekali tidak benar. Lalu kalau sudah mencoba merokok dia juga akan mencoba hal-hal yang lainnya seperti narkoba dan seks bebas.
6.    Himpitan ekonomi yang membuat para remaja stress dan butuh tempat pelarian
7.   Kurangnya pendidikan Agama dan moral.
Berdasarkan faktor pendorong tersebut, berikut ini adalah beberapa fakta mengenai penurunan etika dan moral pelajar yang didapat dari berbagai sumber di masyarakat:
1.   15-20 persen dari remaja usia sekolah di Indonesia sudah melakukan hubungan seksual di luar nikah.
2.  15 juta remaja perempuan usia 15-19 tahun melahirkan setiap tahunnya
3.   Hingga Juni 2009 telah tercatat 6332 kasus AIDS dan 4527 kasus HIV positif di Indonesia, dengan 78,8 persen dari kasus-kasus baru yang terlaporkan berasal dari usia 15-29 tahun.
4.    Diperkirakan terdapat sekitar 270.000 pekerja seks perempuan yang ada di Indonesia, di mana lebih dari 60 persen adalah berusia 24 tahun atau kurang, dan 30 persen berusia 15 tahun atau kurang.
5.Setiap tahun ada sekitar 2,3 juta kasus aborsi di Indonesia dimana 20 persen diantaranya adalah aborsi yang dilakukan oleh remaja.
6. Berdasarkan data kepolisian, setiap tahun penggunaan narkoba selalu naik. Korban paling banyak berasal dari kelompok remaja, sekitar 14 ribu orang atau 19% dari keseluruhan pengguna.
7.Jumlah kasus kriminal yang dilakukan anak-anak dan remaja tercatat 1.150 sementara pada 2008 hanya 713 kasus. Ini berarti ada peningkatan 437 kasus. Jenis kasus kejahatan itu antara lain pencurian, narkoba, pembunuhan dan pemerkosaan.
8.Sejak Januari hingga Oktober 2009, Kriminalitas yang dilakukan oleh remaja meningkat 35% dibandingkan tahun sebelumnya, Pelakunya rata-rata berusia 13 hingga 17 tahun.


BAB III
PENUTUP
Solusi
Terdapat beberapa solusi yang mungkin bisa diterapkan dalam upaya perbaikan nilai moral pada remaja saat ini adalah sebagai berikut.
1.Berusaha menumbuhkembangkan sistem nilai, moral, dan sikap kepada anak di dalam keluarga. Cara ini melalui proses pendidikan, pengasuhan, pendampingan, perintah, larangan, hadiah, hukuman, dan intervensi edukatif lainnya, para orang tua menanamkann nilai luhur, moral, dan sikap yang baik bagi anak-anaknya agar dapat berkembang menjadi generasi penerus yang diharapkan.
2.Peran orang tua sangat penting dalam pembentukan karakter seseorang, terutama dalam mengenalkan pendidikan agama sejak dini. Perhatian dari orang tua juga sangat penting. Karena pada banyak kasus, kurangnya perhatian orang tua dapat menyebabkan dampak buruk pada sikap anak.
3.Upaya pengembangan nilai dan moral diharapkan dapat berkembang baik di sekolah. Hal ini dapat dilakukan dengan diberlakukannya lagi pendidikan budi pekerti di sekolah. Penentuan kelulusan siswa, tidak hanya didasarkan pada prestasi akademik belaka melainkan harus dikaitkan pula dengan budi pekerti siswa tersebut.
Selain solusi yang telah disebutkan di atas, ada beberapa solusi yang mungkin bisa diterapkan dalam pribadi tiap remaja, yaitu sebagai berikut.
1. Untuk meghindari salah pergaulan, kita harus pandai memilah dan memilih teman dekat. Karena pergaulan akan sangat berpengaruh terhadap etika, moral, dan perilaku seseorang.
2.Memperluas wawasan dan pengetahuan akan sangat berguna untuk menyaring pengaruh buruk dari lingkungan, misalnya kebiasaan merokok. Orang-orang menganggap bahwa merokok meningkatkan kepercayaan diri dalam pergaulan. Padahal jika dilihat dari sisi kesehatan, merokok dapat menyebabkan banyak penyakit, baik pada perokok aktif maupun pasif. Sehingga kebiasaan ini tidak hanya akan mempengaruhi dirinya sendiri, melainkan juga orang-orang di sekelilingnya.
3.    Memegang teguh dan menerapkan nilai-nilai agama dengan meningkatkan iman dan takwa seperti bersyukur, bersabar, dan beramal sholeh dalam kehidupan sehari-hari.

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Perencanaan adalah fungsi dasar manajemen, karena pengorganisasian, pembagian, pengarahan, dan pengawasan pun harus terlebih dahulu melalui proses perencanaan. Perencanaan adalah proses kegiatan yang berkaitan dengan usaha merumuskan program yang didalamnya memuat segala sesuatu yang akan dilaksanakan, penentuan tujuan, kebijaksanaan, arah yang akan ditempuh, prosedur dan metode yang akan diikuti dalam usaha pencapaian tujuan.  Perencanaan ini adalah dinamis. Perencanaan ini ditujukan pada masa depan yang penuh dengan ketidakpastian, karena adanya perubahan kondisi dan situasi.
Salah satu alasan utama menempatkan perencanaan sebagai fungsi organik manajerial yang pertama ialah karena perencanaan adalah langkah konkret yang pertama-tama diambil dalam usaha pencapaian tujuan. Artinya, perencanaan merupakan usaha konkretisasi langkah-langkah yang harus ditempuh yang dasar-dasarnya telah diletakkan dalam strategi organisasi.
Semua jenjang manajemen membutuhkan adanya perencanaan dan semakin tinggi jenjang manajemen yang dimaksud, semakin besar pada jenjang yang lebih tinggi, dimana perencanaan mempunyai dampak potensial yang paling besar pada keberhasilan organisasi.
B.     Rumusan Masalah
  1. Apa definisi perencanaan menurut para ahli?
  2. Apa saja asas-asas perencanaan itu?
  3. Apa ciri-ciri rencana yang baik?
  4. Apa saja jenis-jenis perencanaan itu?
  5. Apa saja sifat-sifat perencanaan itu?
  6. Bagaimana langkah-langkah dalam pembuatan perencanaan itu?
  7. Bagaimana cara mengatasi hambatan pengembangan perencanaan yang efektif?
C.     Tujuan Penulisan
  1. Untuk mengetahui definisi perencanaan menurut para ahli.
  2. Untuk mengetahui asas-asas perencanaan.
  3. Untuk mengetahui ciri-ciri rencana yang baik.
  4. Untuk mengetahui jenis-jenis perencanaan.
  5. Untuk mengetahui sifat-sifat perencanaan.
  6. Untuk mengetahui langkah-langkah pembuatan perencanaan.
  7. Untuk mengetahui cara mengatasi hambatan pengembangan perencanaan yang efektif.









BAB II
PERENCANAAN (PLANNING)
A.    Definisi Perencanaan Menurut Para Ahli
1.      Harold Koontz dan Cyril O’Donnel
Perencanaan adalah fungsi seorang manajer yang berhubungan dengan memilih tujuan-tujuan, kebijakan-kebijakan, prosedur-prosedur, program-program dari alternatif yang ada.
2.      G. R. Terry
Perencanaan adalah memilih dan menghubungkan fakta dan membuat serta menggunakan asumsi-asumsi mengenai masa datang dengan jalan menggambarkan dan merumuskan kegiatan-kegiatan yang diperlukan untuk mencapai hasil yang diinginkan.
3.      Louis A. Allen
Perencanaan adalah menentukan serangkaian tindakan untuk mencapai hasil yang diinginkan.
4.      Billy E. Goetz
Perencanaan adalah pekerjaan mental untuk memilih saran, kebijakan, prosedur, dan program yang diperlukan untuk mencapai apa yang diinginkan pada masa yang akan datang.
5.      Drs. H. Malayu S.P. Hasibuan
Rencana adalah sejumlah keputusan mengenai keinginan dan berisi pedoman pelaksanaan untuk mencapai tujuan yang diinginkan itu. Jadi, setiap rencana mengandung dua unsur, yaitu: tujuan dan pedoman.


B.     Asas-Asas Perencanaan
  1. Principle of contribution to objective
Setiap perencanaan dan segala perubahannya harus ditujukan kepada pencapaian tujuan.
  1. Principle of efficiency of planning
Suatu perencanaan efisien, jika perencanaan itu dalam pelaksanannya dapat mencapai dengan biaya sekecil-kecilnya.
  1. Principle of primacy of planning (asas pengutamaan perencanaan)
Perencanaan adalah keperluan utama para pemimpin dan fungsi-fungsi lainnya, organizing, staffing, directing, dan controlling.
Seseorang tidak akan dapat melaksanakan fungsi-fungsi manajemen lainnya, tanpa mengetahui tujuan dan pedoman dalam mwnjalankan kebijaksanaan.
  1. Principle of pervasiveness of planning (asas pemerataan perencanaan)
Asas pemerataan perencanaan memegang peranan penting mengingat pemimpin pada tingkat tinggi banyak mengerjakan perencanaan dan bertanggungjawab atas berhasilnya rencana itu.
  1. Principle of planning premise (asas patokan perencanaan)
Patokan-patokan perencanaan sangat berguna bagi ramalan, sebab premis-premis perencanaan dapat menunjukkan kejadian-kejadian yang akan datang.
  1. Principle of policy frame work (asas kebijaksanaan pola kerja)
Kebijaksanaan ini mewujudkan pola kerja, prosedur-prosedur kerja, dan program-program kerja tersusun.

  1. Principle of timing (asas waktu)
Adalah perencanaan waktu yang relatif singkat dan tepat.
  1. Principle of planning communication (prinsip tata hubungan perencanaan)
Perencanaan dapat disusun dan dikoordinasikan dengan baik, jika setiap orang bertanggung jawab terhadap pekerjaannya dan memperoleh penjelasan yang memadai mengenai bidang yang dilaksanakannya.
  1. Principle of alternative (asas alternatif)
Altenatif ada pada setiap rangkaian kerja dan perencanaan meliputi pemilihan rangkaian alternatif dalam pelaksanaan pekerjaan, sehingga tercapai tujuan yang telah ditetapkan.
  1. Principle of limiting factor (asas pembatasan faktor)
Dalam pemilihan alternatif-alternatif, pertama-tama harus ditujukan pada faktor-faktor yang strategis dan dapat membantu pemecahan masalah. Asas alternatif dan pembatasan factor merupakan syarat mutlak dalam penetapan keputusan.
  1. The commitment principle
Perencanaan harus memperhitungkan jangka waktu keterkaitan yang diperlukan untuk pelaksanaan pekerjaan.
  1. The principle of flexibility (asas fleksibilitas)
Perencanaan yang efektif memerlukan fleksibilitas, tetapi tidak berarti mengubah tujuan.
  1. The principle of navigation change (asas ketetapan arah)
Perencanaan yang efektif memerlukan pengamatan yang terus-menerus terhadap kejadian-kejadian yang timbul dalam pelaksanannya untuk mempertahankan tujuan.

  1. Principle of strategic planning (asas perencanaan strategis)
Dalam kondisi terteentu manajer harus memilih tindakan-tindakan yang diperlukan untuk menjamin pelaksanaan rencana agar tujuan tercapai dengan efektif.
C.     Ciri-Ciri Rencana yang Baik
Rencana dapat dikatakan baik apabila memenuhi sepuluh ciri yang akan dibahas berikut ini.
1.      Rencana harus mempermudah tercapainya tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Artinya bahwa penyusunan suatu rencana tidak boleh dipandang sebagai suatu tujuan, melainkan sebagai cara yang sifatnya sistematik untuk mencapai tujuan.
2.      Rencana sungguh-sungguh memahami hakikat tujuan yang ingin dicapai.
3.      Pemenuhan persyaratan keahlian teknis. Penyusunan suatu rencana untuk kemudian disahkan oleh manajer seyogianya diserahkan kepada orang yang betul-betul memenuhi persyaratan keahlian teknis menyusun rencana.
4.      Rencana harus disertai oleh suatu rincian yang cermat. Artinya, penjabaran rencana harus menyangkut semua segi kehidupan organisasi.
5.      Keterkaitan rencana dengan pelaksanaan.
6.      Kesederhanaan. Idealnya sebuah rencana harus sederhana sehingga dapat dipahami oleh orang lain, terutama para pelaksana dan memperoleh pengertian yang sama dengan yang dimaksudkan oleh para perencana.
7.      Fleksibilitas. Berarti sebuah rencana itu memperhitungkan apa yang mungkin dilaksanakan, tergantung pada keadaan nyata yang dihadapi.
8.      Rencana memberikan tempat pada pengambilan resiko.
9.      Rencana yang pragmatik. Yaitu suatu rencana yang mempunyai sebuah idealisme yang baik dengan dipadukan dengan faktor-faktor eksternal lainnya.
10.  Rencana sebagai instrumen peramalan dimasa depan.


D.    Jenis-Jenis Perencanaan
1.      Jenis perencanaan menurut penggunaanya:
a.       Single use planning, yaitu perencanaan untuk sekali pakai. Jika pelaksanaanya telah selesai, perencanaan tersebut tidak akan digunakan kembali.
b.      Repeats planning, yaitu perencanaan yang dipergunakan untuk keperluan yang berulang-ulang.
2.      Jenis perencanaan menurut prosesnya:
a.       Policy planning (merupakan kebijakan), yaitu suatu  perencanaan yang berisi kebiksanaannya saja tanpa dilengkapi oleh teknis pelaksanaannya secara sistematis.
b.      Program planning, yaitu perencanaan yang merupakan penjelasan dan princian dari policy planning. Program planning dibuat oleh badan-badan khusus yang mempunyai wewenang untuk melaksanakan policy planning.
3.      Jenis perencanan menurut jangka waktunya:
a.       Long range planning (LRP), yaitu suatu perencanaan jangka panjang yang membutuhkan waktu yang agak lama dalam pelaksanannnya.
b.      Intermediate planning (perencanaan jangka menengah), yaitu perencanaan yang dalam pelaksanaanya membutuhkan waktu yang lama. Biasanya dalam jangka waktu lima tahun.
c.       Short range planning (SRP) atau perencanaan jangka pendek, yaitu perencanaan yang dipersiapkan dengan tergesa-gesa dan mendadak karena dianggap penting dan waktu yang tersedia sangat sempit. Biasanya, pelaksanaannnya memerlukan waktu kurang dari satu tahun.
4.      Jenis perencanaan menurut wilayah pelaksanannya.
a.       Rural planning, yaitu perencanaan pedesaan.
b.      City planning, yaitu perencanaan untuk suatu kota.
c.       Regional planning, yaitu perencanaan tingkat daerah kabupaten ataupun kota.
d.      National planning, yaitu suatu perencanaan tingkat nasional yang mencakup segenap wilayah negara.
5.      Jenis perencanaan menurut materinya:
a.       Personal planning, yaitu suatu perencanaan mengenai masalah-masalah kepegawaian
b.      Financial planning, yaitu suatu perencanaan mengenai masalah-masalah keuangan ataupun permodalan.
c.       Industrial planning, yaitu perencanaan yang menyangkut kegiatan industri yang direncanakan sedemikian rupa agar terhindar dari hambatan dan rintangan dalam pencapaian tujuan.
d.      Educational planning, yaitu suatu perencanaan dalam kegiatan pendidikan.

E.     Sifat-Sifat Perencanaan
Perencanaan harus bersifat seperti berikut:
1.      Faktual, yaitu suatu perencanaan harus didasarkan pada hasil temuan di lapangan. Fakta-fakta yang telah dikumpulkan dan dijadikan data serta diolah secara rasional, apabila perlu dikaji secara iilmiah.
2.      Rasional, dimana sebuah perencanaan itu harus masuk akal dan bukan merupakan angan-angan.
3.      Fleksibel, yakni perencanaan itu tidak boleh kaku. Tetapi mengikuti perkembangan zaman dan perubahan situasi dan kondisi sehingga pelaksanaannya tidak terjebak dalam suatu keadaanyang statis.
4.      Berkesinambungan, dimana sebuah perencanaan dibuat secara kontinu. Artinya, sebuah perencanaan berkelanjutan mengikuti kebutuhan organisasi dan tidak dibatasi oleh absolutisme ruang dan waktu.
5.      Dialektis, dimana sebuah perencanaan itu harus memikirkan penungkatan dan perbaikan-perbaikan untuk kesempurnaan dimasa yang akan datang.

F.      Langkah Pembuatan Perencanaan
Ada empat langkah perencanaan yang dapat disesuaikan dengan semua aktivitas perencanaan pada seluruh tingkat organisasi.
Langkah 1: Tetapkan sasaran atau perangkat tujuan. Perencanaan diawali dengan keputusan mengenai apa yang diinginkan atau dibutuhkan oleh sebuah organisasi atau sub-unit. Penentuan ptioritas dan tujuan secara tegas memungkinkan organisasi dapat memusatkan sumber daya secara lebih efektif.
Langkah 2: Tentukan situasi sekarang. Saat seorang manajer telah menganalisis keadaan terakhir, rencana dapat disusun untuk membuat peta kemajuan selanjutnya. Jalur komunikasi yang terbuka didalam organisasi dan antar sub-unitnya akan memberikan informasi -terutama data keuangan dan data statistik-  yang diperlukan untuk langkah selanjutnya.
Langkah 3: Identifikasi pendukung dan penghambat tujuan. Mengantisipasi situasi, masalah, dan peluang di masa yang akan datang adalah bagian penting dari perencanaan.
Langkah 4: Kembangkan rencana atau perangkat tindakan untuk mencapai tujuan. Langkah akhir dalam proses perencanaan adalah pengembangan berbagai alternatif cara bertindak untuk mencapai tujuan yang diinginkan, mengevaluasi alternatif-alternatif tersebut dan memilih alternatif yang paling sesuai untuk mencapai tujuan. Ini merupakan suatu langkah untuk mengambil keputusan mengenai tindakan di masa depan dan paling relevan dengan pedoman pengambilan keputusan yang efektif.
Keempat langkah terakhir ini tidak diperlukan, jika manajer, telah menelaah kecenderungan yang terakhir yakni memperkirakan bahwa rencana yang sedang dilaksanakan telah menjamin tercapainya tujuan organisasi. Dalam keadaan seperti ini, biasanya manajer telah memperhatikan (mengendalikan) dengan cermat kemajuan yang telah lama.
G.    Mengatasi Hambatan terhadap Pengembangan Perencanaan yang Efektif
Ada dua hambatan utama terhadap pengembangan rencana. Pertama, yaitu penolakan internal perencana terhadap penentuan tujuan dan pembuatan rencana pencapaiannya. Dan yang kedua adalah keengganan para anggota organisasi untuk menerima perencanaan dan rencana karena perubahan yang ditimbulkannya.
1.      Penolakan untuk menetapkan tujuan
Karena penetapan tujuan adalah langkah awal yang penting dalam perencanaan, manajer yang tidak akan mampu membuat rencana yang efektif. Ada sejumlah alasan kenapa manajer ragu untuk menetapkan tujuan organisasi.
a. Keengganan untuk melepaskan tujuan alternatif
b. Ketakutan untuk menghadapi kegagalan.
c. Kurangnya pengetahuan tentang organisasi.
d. Kurangnya pengetahuan tentang lingkungan.
e. Kurangnya rasa percaya diri.
2.  Penolakan terhadap perubahan
Ada tiga alasan utama mengapa anggota organisai menolak perubahan, yaitu sebagai berikut.
a. Ketidakpastian mengenai sebab dan akibat dari perubahan.
b. Keengganan untuk melepaskan keuntungan yang ada.
c. Kesadaran akan kelemahan dalam perubahan yang diusulkan.
Mengatasi Kendala
Adapun cara untuk mengatasi berbagai kendala dalam perencanaan bisa dilakukan dengan menciptakan sistem organisasi yang mempermudah penetapan tujuan dan bukan menghambatnya. Membantu individu untuk menetapkan tujuannya. Hal ini bisa dilakukan dengan berbagai macam cara. Misalnya, manajer dapat membantu para peserta untuk menggalang hubungan informal dengan orang-orang dari berbagai bagian, divisi, dan lokasi. Hal ini dapat mempertinggi kepercayaan pada orang lain dan pada diri mereka sendiri.
Ketakutan untuk menghadapi kegagalan dan keengganan untuk melepaskan rencana alternatif akan berkurang apabila perusahaan menganut sistem perencanaan yang efektif dan dikomunikasikan dengan baik pula. Ketakutan menghadapi kegagalan dan kurangnya rasa percaya diri juga akan berkurang bila tujuan yang realistik berikut cara-cara pencampaiannya dilakukan secara terbuka.
Manajer memiliki sejumlah cara untuk mengurangi atau menghilangkan penolakan terhadap perubahan yang direncanakan, seperti misalnya:
a.       Melibatkan karyawan dan kelompok yang terkait dalam proses perencanaan.
b.      Memberikan lebih banyak informasi kepada para karyawann mengenai rencana dan kemungkinan akibat yang bisa terjadi.
c.       Mengembangkan suatu pola perencanaan dan pelaksanaan yang efektif.
d.      Menyadari dampak perubahan dari para anggota organisasi dan memperkecil kekacauan yang tidak perlu.


BAB III
KESIMPULAN
            Perencanaan adalah sebuah proses penentuan kebijakan, pedoman, maupun  program untuk mencapai suatu tujuan dimasa yang akan datang. Ada empat belas prinsip dalam sebuah perencanaan, yakni 1)Principle of contribution to objective,  2)Principle of efficiency of planning, 3)Asas pengutamaan perencanaan, 4)Asas pemerataan perencanaan, 5)Asas patokan perencanaan, 6)Asas kebijaksanaan pola kerja, 7)Asas waktu, 8)Prinsip tata hubungan perencanaan, 9)Asas alternatif, 10)Asas pembatasan faktor, 11)The commitment principle, 12)Asas fleksibilitas, 13)Asas ketetapan arah, dan 14)Asas perencanaan strategis.
Dan perencanaan yang baik mengandung sepuluh ciri, yakni : 1)Rencana harus mempermudah tercapainya tujuan yang telah ditentukan sebelumnya, 2)Rencana sungguh-sungguh memahami hakikat tujuan yang ingin dicapai, 3)Pemenuhan persyaratan keahlian teknis, 4)Rencana harus disertai oleh suatu rincian yang cermat, 5)Keterkaitan rencana dengan pelaksanaan, 6)Kesederhanaan, 7) Fleksibilitas, 8)Rencana memberikan tempat pada pengambilan resiko, 9)Rencana yang pragmatik, dan 10)Rencana sebagai instrumen peramalan dimasa depan.
Jenis-jenis perencanaan dapat dibedakan berdasarkan penggunaan, proses, jangka waktu, wilayah pelaksanaan, dan menurut materinya. Sedangkan sifat-sifat perencanaan yaitu faktual, rasional, fleksibel, berkesinambungan, dan dialektis. Ada empat langkah dalam proses pembuatan perencanaan. Namun empat langkah itu tidak diperlukan apabila manajer telah menjamin tercapainya tujuan organisasi tersebut. 
Dan beberapa langkah untuk mengatasi penolakan terhadap sebuah perencanaan yakni dengan melibatkan karyawan dan kelompok yang terkait dalam proses perencanaan, memberikan lebih banyak informasi kepada para karyawann mengenai rencana dan kemungkinan akibat yang bisa terjadi, mengembangkan suatu pola perencanaan dan pelaksanaan yang efektif, dan menyadari dampak perubahan dari para anggota organisasi dan memperkecil kekacauan yang tidak perlu.



















DAFTAR PUSTAKA

Stoner, James A.F. & Charles Wankel. 1993. Perencanaan & Pengambilan Keputusan dalam Manajemen. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Komarudin. 1990. Manajemen Berdasarkan Sasaran. Jakarta: Bumi Aksara.
Daft, Richard L. 2002. Manajemen Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga.
Athoillah, Anton. 2010. Dasar-Dasar Manajemen. Bandung: Pustaka Setia.
Siagian, Sondang P. 2007. Fungsi-Fungsi Manajerial. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Hasibuan, Malayu S.P. 2009. MANAJEMEN: Dasar, Pengertian, dan Masalah. Jakarta: PT Bumi Aksara.